Pages

Memento mori

27.9.08

Sepenggal chatting saya dengan seorang teman beberapa malam lalu:

dia: hidup gue udah gak lama lagi nih, umur gue tinggal 10 tahun lagi…
[jeda lama…karena saya binggung, apa ya yang harus saya jawab, untungnya ini percakapan di yahoo messenger yang memberikan kita cukup waktu untuk berpikir sebelum menjawab. Akhirnya setelah mikir-mikir, menimbang antara beberapa jawaban klise saya memilih menjawab seperti ini]

Saya: oh ya? Kok bisa?

Dia: iya, gue udah sakit parah, sakit gula

saya: diabetes? Yang bilang umur tinggal 10 tahun lagi siapa?

Dia: iya, diabetes. Yang bilang dokter

Saya: Kok dokternya hebat banget bisa tau umur manusia?

Dia: hahaha…dokternya gak ngomong gitulah…cuma ya dia menyiratkan kalo hidup gue udah gak lama lagi aja. Salah satu jari kaki gue luka, dan gak bisa sembuh-sembuh, udah mulai hitam dan membusuk, kalo gak bisa sembuh juga ya harus dibuang…

[lagi-lagi jeda lama…kali ini, karena saya teringat pada almarhum kakek saya yang sekitar belasan tahun lalu juga menderita diabetes dan berkasus serupa dengan teman saya, mengalami luka di jari tangan, tidak sembuh-sembuh sampai akhirnya diamputasi, jadi saya memang tidak bisa menghibur teman saya bahwa dia akan baik-baik aja.]

saya: trus, solusinya apa?

Dia: ya, gue sih sering kontrol ke dokter, mulai jaga makan sesuai anjuran dokter gizi. Lagian, emang keluarga gue rata-rata meninggal karena diabetes, bokap gue, nenek kakek gue.

Saya: ya…sebenernya semua orang juga menghitung waktu kan? Gue juga lagi nunggu kapan hidup gue selesai.

Dia: hahaha…iya, lagian gue dari dulu juga cita-cita pengen mati muda…

Setelah ngobrol dengan teman saya, saya jadi berpikir betapa sebenarnya kita benar-benar seperti sedang menunggu giliran secara random yang pola pemilihan gilirannya tidak terbaca.
Entah mana yang lebih baik, dapat mengetahui berapa lama waktu yang tersisa untuk kita atau lebih baik tidak pernah tahu sampai akhirnya giliran kita tiba?

Almarhum ayah saya, meninggal dengan cara yang ke dua. Tanpa sakit, tanpa pernah mengenal dokter yang bisa “meramalkan” lamanya waktu yang tersisa. Tahu-tahu gilirannya dipanggil tiba. Ketika seluruh keluarga saya berduka, saya malah merasa terlalu egois untuk terus menangis. Kenapa? Karena menurut saya, ayah saya pasti lebih sedih lagi. Di sini, di dunia ini, saya dan keluarga masih punya banyak sahabat dan saudara yang menemani dan menghibur, bagaimana dengan ayah saya?
Tidakkah ia pergi sendiri? Menghadapi entah apapun yang akan terjadi, sendirian?
Menurut agama saya, setiap orang yang meninggal akan pergi menyongsong hidup abadi, hidup yang lebih indah dan ia ditemani oleh Tuhan. Tanpa bermaksud buruk, tetapi darimana mereka tahu? Bukankah Tuhan selalu bersama siapapun? Hidup dan mati? Memang benar berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya.

Dan saya memilih untuk tetap percaya, bahwa apapun yang terjadi setelah kita mati, adalah sebuah misteri. Karenanya, saya juga percaya, adalah baik untuk selalu mengingat bahwa misteri bersifat tidak terungkap, sehingga kita juga selalu waspada dan tidak lengah.
Mencium ibu setiap hari, mengatakan betapa saya sangat menyayangi sahabat-sahabat saya, mencoba hal-hal yang baru, hidup seolah-olah waktu saya tinggal hari ini.

No comments :

Proudly designed by | mlekoshiPlayground |